Rusia-Ukraina di Ambang Perang, Akankah Insiden Crimea Terulang?

Ketegangan Rusia dan Ukraina terus memanas menyusul rumor pasukan khusus Rusia telah diterjunkan untuk mengacaukan situasi di timur Ukraina, wilayah bergolak yang dikuasai separatis pro-Moskow.

Pengerahan pasukan itu mengingatkan publik pada insiden aneksasi Crimea pada 2014 lalu. Kala itu Ukraina tak mampu membendung ambisi Rusia karena kekuatan militer yang jauh di bawah negara tetangganya tersebut.

Ukraina sempat mengotot untuk bergabung dengan NATO demi mendapat dukungan yang kuat hadapi Ukraina. Langkah Kiev itu justru bikin Rusia berang. Moskow kemudian mengerahkan kekuatan militer dan pasukan ke perbatasan dekat Ukraina.

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky pun ‘lempar handuk’ dan membatalkan niat gabung bersama NATO. Ukraina pun masih harus berjuang sendirian.

Tanpa NATO, mungkinkah insiden pencaplokan Crimea oleh Rusia terulang dengan perebutan wilayah lain di Ukraina?

Konflik antara Ukraina dan Rusia belum menunjukkan tanda-tanda reda. Sejumlah pihak mengatakan Moskow bisa menyerang Kiev kapan saja menggunakan dalih operasi False Flag atau kambing hitam.

Operasi False Flag merupakan aksi yang bertujuan menyamarkan pihak yang seharusnya bertanggung jawab dan menjadikan pihak lain sebagai kambing hitam.

Operasi ini bersifat rahasia yang dirancang seolah-olah negara atau kelompok lain melakukan serangan.

False Flag ini juga disebut pernah digunakan Rusia untuk mencaplok Crimea pada 2014 lalu. Aneksasi ini menjadi pencaplokan terbesar pasca Perang Dunia II.

Menurut pengamat dari Universitas Muhammadiyah Riau, Fahmi Salsabila, Rusia bisa saja menggunakan metode operasi bendera palsu seperti insiden Crimea jika akan menyerbu Ukraina.

“Ya bisa saja namanya strategi, merasa terancam maka akan menyerang, padahal itu false flag,” kata Fahmi pada, Jumat (18/2) saat ditanya kemungkinan Rusia menggunakan false flag di krisis sekarang.

Ukraina, lanjut dia, bahkan bisa bernasib sama dengan Crimea: menjadi bagian Rusia. Namun, upaya Rusia itu menurut Fahmi bisa terjadi justru apabila Ukraina bergabung dengan NATO.

“Jika Ukraina bersikeras menjadi anggota NATO, bisa saja nasibnya seperti Crimea, bisa jadi dicaplok Rusia. Sebab Rusia enggak mau keamanannya terganggu,” ucap Fahmi.

Rusia memang berusaha mencegah Ukraina bergabung dengan NATO. Mereka takut negara ini akan dijadikan tempat bagi blok tersebut untuk menargetkan Moskow.

Ia lalu memperkirakan kemungkinan invasi Rusia 50:50.

Fahmi berkata, “Rusia sudah bersiap-siap (tapi) bisa juga ini sebagai pamer kekuatan.”

Ukraina, lanjutnya, lebih baik menjadi negara penyangga. Artinya, Kiev tak perlu pro-Barat atau pro-Rusia tapi tetap memenuhi kepentingan mereka.

Related posts